Oleh Martain, Dosen Fisipol Unikarta
HonestNews.id – Salah satu program Dedikasi Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kartanegara untuk pembangunan daerah yang saat ini menjadi perhatian publik di Kutai Kartanegara adalah Program 150 Juta per RT. Program ini merupakan pengembangan dari Program 50 Juta per RT yang telah lebih dulu dijalankan kepemimpinan sebelumnya. Melalui kebijakan ini, setiap RT akan memperoleh alokasi dana sebesar Rp150 juta per tahun untuk mendukung pembangunan lingkungan berbasis masyarakat.
Secara konseptual, program ini sangat progresif. Ia lahir dari semangat memperluas partisipasi warga dan memperkuat peran masyarakat dalam menentukan arah pembangunan di lingkungan masing-masing. Namun dalam praktiknya, ada satu hal penting yang sering luput dari perhatian yaitu perspektif kesetaraan gender.
Selama ini, struktur RT umumnya masih didominasi oleh laki-laki, baik dalam kepengurusan maupun proses pengambilan keputusan. Akibatnya, perempuan sering kali hanya menjadi “penonton” dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program, padahal mereka memiliki pengalaman dan kebutuhan spesifik yang sama pentingnya dengan laki-laki.
Jika melihat realisasi di lapangan pada Program 50 Juta per RT sebelumnya. Dalam praktiknya, sebagian besar penggunaan dana RT masih diarahkan pada pembangunan fisik seperti jalan lingkungan, drainase, penerangan jalan, atau fasilitas umum lainnya.
Tentu pembangunan infrastruktur ini penting dan manfaatnya nyata bagi masyarakat. Namun, kita juga harus jujur mengakui bahwa program pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat, terutama yang menyasar kelompok perempuan masih sangat minim. Padahal, ruang untuk mengembangkan program yang menyentuh langsung peningkatan kapasitas warga, khususnya perempuan, sangat terbuka dan strategis untuk mendukung ketahanan sosial masyarakat.
Perempuan selama ini memiliki peran besar dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di tingkat RT, seperti posyandu, PAUD, kegiatan PKK, pelatihan usaha rumahan, hingga pengelolaan kegiatan sosial lainnya. Sayangnya, peran tersebut seringkali tidak mendapatkan porsi dukungan anggaran yang memadai.
Total alokasi anggaran untuk program ini diperkirakan akan mencapai lebih dari Rp420 miliar untuk seluruh RT se-Kukar. Dari jumlah tersebut, diperkirakan sekitar 80 persen diarahkan untuk pembangunan infrastruktur lingkungan, sementara kegiatan sosial dan pemberdayaan hanya sekitar 20 persen. Angka ini memperlihatkan ketimpangan fokus pembangunan dan absennya perspektif gender dalam perencanaan program.
Padahal, jika sebagian dana RT dialokasikan untuk mendukung program pemberdayaan perempuan dan keluarga, dampaknya dapat jauh lebih luas. Misalnya melalui pelatihan ekonomi produktif, penguatan kapasitas kader perempuan, penyediaan fasilitas layanan anak dan lansia, atau kegiatan sosial berbasis komunitas. Program ini tidak hanya akan mempercantik lingkungan secara fisik, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat di akar rumput.
Agar hal ini terwujud, menurut saya ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan : (1). Pemkab Kutai Kartanegara perlu memperkuat regulasi dan petunjuk teknis program dengan memasukkan prinsip kesetaraan gender. Misalnya, mensyaratkan minimal 30 persen keterlibatan perempuan dalam proses musyawarah perencanaan RT; (2). Perlu ada alokasi anggaran minimal untuk program sosial dan pemberdayaan masyarakat, agar tidak seluruh dana terserap untuk infrastruktur fisik semata; (3). RT di Desa/kelurahan perlu mendapatkan pendampingan teknis tentang bagaimana mengelola anggaran secara partisipatif dan inklusif, sehingga semua kelompok masyarakat dapat menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya; (4). Penting membangun kesadaran bersama bahwa kesetaraan gender bukan hanya tentang perempuan, tetapi tentang pembangunan yang adil, cerdas, dan berkelanjutan.
Program 150 Juta per RT adalah inisiatif besar dan berani. Namun, agar benar-benar berdampak luas, program ini harus dijalankan dengan cara yang partisipatif, transparan, dan inklusif gender. Ketika perempuan diberi ruang dan kepercayaan untuk ikut menentukan arah pembangunan, maka hasilnya tidak hanya akan terlihat pada infrastruktur, tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.
Sudah saatnya kebijakan pembangunan di tingkat RT tidak hanya mendengar suara mayoritas laki-laki, tetapi juga mengakui dan menguatkan peran perempuan sebagai agen pembangunan. Karena pada akhirnya, pembangunan yang baik adalah pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.



