Dari Regulasi ke Aksi Nyata: Mewujudkan Kesetaraan Gender di Kutai Kartanegara

Oleh: Admin
Terbit: 1 minggu lalu
Martain, Dosen Fisipol Unikarta

Oleh Martain, Dosen Fisipol Unikarta

HonestNews.id – Kesetaraan gender bukan hanya tentang perempuan, melainkan tentang bagaimana perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk berperan dalam pembangunan. Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) telah menunjukkan langkah maju dengan hadirnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang kemudian disempurnakan menjadi Perda Nomor 5 Tahun 2024. Ini adalah bukti komitmen pemerintah daerah dalam memastikan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

Namun, seperti banyak kebijakan lainnya, tantangan utama bukan pada regulasinya, melainkan pada implementasinya. Masih banyak pertanyaan yang muncul: sejauh mana semangat kesetaraan gender benar-benar hidup di setiap program dan kegiatan pembangunan? Apakah perempuan di pedesaan Kukar sudah merasakan manfaat nyata dari kebijakan ini?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa implementasi PUG di Kukar belum sepenuhnya optimal. Beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memang telah memiliki focal point gender dan pokja PUG, namun fungsi koordinasinya masih terbatas. Banyak program pembangunan masih disusun tanpa mempertimbangkan analisis gender. Misalnya, kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat sering kali hanya diukur dari jumlah penerima bantuan tanpa memperhatikan proporsi perempuan dan laki-laki yang benar-benar terlibat.

Padahal, perempuan memiliki kontribusi besar dalam roda ekonomi daerah. Dari pelaku UMKM, pengrajin, hingga petani dan nelayan, perempuan Kukar memainkan peran penting, tetapi kerap belum mendapatkan dukungan memadai dalam hal akses modal, pelatihan, dan jejaring pemasaran. Disinilah pentingnya kebijakan yang responsif gender bukan sekadar memberi ruang, tapi juga memastikan perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya pembangunan.

Masalah lain yang sering muncul adalah kurangnya data terpilah berdasarkan jenis kelamin. Tanpa data ini, sulit menilai apakah kebijakan benar-benar adil bagi semua. Data adalah fondasi utama dalam perencanaan berbasis bukti (evidence-based policy). Jika data tentang partisipasi, kebutuhan, dan manfaat program tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan, maka kebijakan publik akan cenderung bias dan tidak efektif.

Selain itu, kapasitas aparatur pemerintah dalam memahami konsep PUG juga masih perlu diperkuat. Banyak aparatur yang memandang isu gender sebagai urusan khusus Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), padahal PUG adalah tanggung jawab lintas sektor. Setiap OPD harus mampu mengintegrasikan perspektif gender dalam programnya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.

Meski begitu, Kukar memiliki peluang besar untuk memperkuat pelaksanaan kebijakan gender. Komitmen kepala daerah, dukungan akademisi dari universitas lokal, serta kolaborasi dengan organisasi perempuan dapat menjadi kekuatan utama untuk mendorong perubahan. Beberapa inisiatif seperti pelatihan UMKM perempuan, program pencegahan kekerasan terhadap perempuan, dan peningkatan kapasitas desa ramah perempuan sudah menjadi langkah positif yang perlu diperluas.

Kesetaraan gender bukan hanya indikator moral, tetapi juga indikator pembangunan yang cerdas. Daerah yang berhasil mengintegrasikan gender dalam kebijakannya terbukti memiliki tingkat kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan yang lebih tinggi.

Kini saatnya Kukar melangkah dari regulasi menuju aksi nyata. Perda sudah ada, kelembagaan sudah dibentuk, yang dibutuhkan adalah komitmen kolektif untuk memastikan setiap kebijakan dan program benar-benar memberi manfaat bagi semua warga tanpa memandang gender.

Karena pembangunan yang adil adalah pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang, terutama perempuan, yang selama ini menjadi fondasi kehidupan sosial dan ekonomi daerah.

 

Berita Lainnya
Berita Terbaru